Ketika Ulama Menjadi Politisi  

Diposting oleh greata


Pemilihan anggota parlemen dan eksekutif secara langsung telah memberikan ruang kepada para Ustadz, Buya, Kiyai, atau Alim Ulama untuk terjun ke kawah candradimuka perpolitikan. Mereka yang biasanya berbasis di masjid dan pesantren dengan rutinitas memberikan penerangan agama kepada umat, telah mengambil peran baru dalam dinamika demokratisasi yang mengiurkan.

Pada awalnya, kita ketahui mereka selama ini menjadi pengkhotbah kebaikan. Sepak terjang yang mereka lakoni dilandaskan pada tindakan altruistik (pementingan orang lain). Dengan pesona kelembutan hati, keluhuran akhlak, dan komitmen kepada ajaran agama, mereka dipuji dan disetujui oleh para penerima, yakni jama’ah yang mendapatkan manfaat darinya.

Sang Ustadz/Agamawan yang beralih ke profesi politisi ini, berusaha membangkitkan gerakan supremasi spiritual. Mereka melihat persoalan paling penting yang menimpa masyarakat adalah masalah moralitas. Dengan idealisme yang dipegang, mulailah ia bergerak di rapat-rapat parlemen. Kebijakan-kebijakan yang diambil diusahakan memuat pengimplementasian hukum-hukum Tuhan yang selama ini tidak diakomodasi dalam peraturan publik.

Namun, medan baru yang bernama politik ini tak selembut yang mereka bayangkan. Lambat-laun sikap vokal Sang ulama telah menimbulkan kedengkian dari kolega politisi yang berbeda ideologi. Biasanya konfrontasi datang dari politis partai nasionalis yang telah lama malang melintang di lembaga dewan terhormat. Mereka lebih mahir mengikuti alunan gendang, telah banyak merasakan asam garam.

Politik memang mainan gila. Tak cukup dengan niat baik saja. Setiap keputusan diambil dengan dialektika yang membutuhkan kemampuan retorika. Tak sekedar ceramah agama yang bisa merasuk ke dada, tapi ruang politik butuh kemahiran memainkan kata dan memutar logika. Jika selama ini, jama’ah yang dihadapi sang Ustadz selalu menekur penuh seksama mendengarkan setiap kata-kata yang disampaikannya, maka kali ini ia berhadapan dengan sekelompok orang yang mahir berdebat, lincah membalikkan kata. Sering kali sang Ustadz termanggu mengurut dada, karena merasa kebenaran yang dikatakannya dibantah dengan rasionalitas logis politis.

Sebagai manusia biasa, sang Ulama Politisi juga menyimpan potensi kecendrungan melakukan kejahatan. Naluriah alami ini terus menganggu tiap detik helaan nafas setiap orang, tak terkecuali orang baik bernama ustadz. Banyak uang berseliweran di depan mata. Entah uang sogok dari pihak yang ingin dimenangkan tender, ataupun uang terima kasih atas pelolosan kepentingan orang tertentu, ataupun uang pelicin agar bisa melancarkan usaha pihak tertentu. Kejujuran dan kebutuhan berkecamuk. Sering kali kerasnya godaan membuat nurani terkalahkan.

Akhirnya banyak kita temui kasus-kasus politisi yang berlatar belakang sebagai Ustadz, Buya atau Alim ulama terjerat kasus korupsi. Pada suatu pertemuan penulis dengan seorang Staff UNDP PBB, Doktor Ekonomi lulusan Amerika Serikat yang sering diundang DPR sebagai team ahli ketika rapat perumusan kebijakan, beliau mengatakan “rata-rata, hampir semua anggota parlemen yang trendy ber-jas itu adalah MALING. Entah itu dari Partai Islam, Nasionalis atau Partai lainnya, semuanya sama. Yang beda cuma tingkatannya saja, ada maling kelas kakap, kelas menengah, dan ada maling kecil.”

Banyaknya politisi agamawan yang terbawa arus politik kotor menimbulkan rasa keprihatinan mendalam. Karena implikasi yang ditimbulkan bukan hanya berdampak tercorengnya citra diri, tapi lebih jauh dari itu. Fenomena ini akan menciptakan apriori masyarakat akan dakwah dan Islam. Jika demikian, rusaklah nama Islam, padahal nilai-nilai luhur Islam telah berbuih-buih ia serukan di mimbar-mimbar masjid.

Tentu saja, hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Perilaku politisi pengkhotbah kebaikan yang tak lagi layak diteladani, menjadikan kebenaran menjadi abu-abu. Jika patokan moralitas sudah kabur, maka kehancuran masyarakat semakin nyata di depan mata.

Oleh karena itu, demi memulihkan harapan, menjauhkan diri dari nihilisme, dan menjaga keagungan agama, ada baiknya Ustadz, Buya, Kiyai, atau Alim Ulama yang berkeinginan terjun dalam dunia politik memperhatikan dua hal. Yang pertama, menanyakan pada diri sendiri tentang motivasi yang melandasi piihannya ikut bergulat dalam politik. Apakah demi perjuangan menegakan moralitas dan nilai-nilai religius yang diabaikan masyarakat ataukah spirit pragmatis sebagai ladang peraihan pundi-pundi ekonomi? Kedua, mengukur kapasitas dan kemampuan diri, apakah telah menguasai teori politik, masalah hukum, analisa sosial, dan trik-trik politik? Bukan sekedar tahu, tapi apakah mampu melakoni semua itu secara pintar? Kalau tak mampu berdebat, tak bisa memahamkan kebenaran yang diyakini, dan tak tahan melawan godaan duniawi, mungkin tak usah saja ikut-ikutan.

Muhammad Natsir, teladan politisi Islam Indonesia yang tiada banding hingga sekarang, pernah mengatakan, “Agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara (politik)”. Namun, ucapan beliau itu tidak mengindikasikan keharusan Ustadz, Buya, Kiyai, atau Alim Ulama untuk masuk parlemen. Terkadang, sang Ulama lebih baik bermain di belakang layar.

Menyiapkan generasi-generasi andal yang memiliki basic keilmuan tata negara, sosial dan politik serta pengalaman dalam organisasi sosial kemasyarakatan, dengan menumbuhkan kesadaran Islam dalam diri mereka. Kemudian lewat rekayasa politik yang cantik, munculkanlah generasi brilian itu. Kasus ini pernah dilakukan ketika proses naiknya khalifah yang masyhur dalam sejarah peradaban Islam, Umar bin Abdul ‘Aziz. Banyak yang tidak tahu, bahwa aktor intelektual terpilihnya Umar menjadi khalifah adalah seorang ulama kenamaan pada zaman itu, Raja’ bin Haiwah.

Banyak jalan untuk merubah keadaan. Politik praktis melalui perjuangan di parlemen, hanyalah salah satu cara dari sekian banyak cara yang bisa dilakukan. Mendidik generasi-generasi muda yang Cendikia Qur’ani, agaknya lebih visioner. Kita sudah bosan dengan pilihan-pilihan usang dengan aktor politisi lama yang masih bernafsu meraih jabatan. Mudah-mudahan dengan keseriusan membina generasi hari ini, sejarah akan mencatat kegemilangan bangsa Indonesa di masa depan. Amiin. (***)

Artikel ini telah diterbitkan oleh Harian Padang Ekpsress edisi Senin 23 Juni 2008

This entry was posted on 15.33 . You can leave a response and follow any responses to this entry through the Langganan: Posting Komentar (Atom) .

1 komentar

artikel anda menarik,artikel anda :

http://politik.infogue.com/
http://politik.infogue.com/ketika_ulama_menjadi_politisi

promosikan artikel anda di www.infogue.com dan jadikan artikel anda yang terbaik dan terpopuler menurut pembaca di seluruh nusantara.salam blogger!!!