Artikel ini telah diterbitkan oleh Harian Singgalang Sumatera Barat edisi Rabu, 18 Juni 2008
Oleh Anggun Gunawan (Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta)
Sejarah mencatat, nenek moyang kita adalah orang-orang yang tangguh. Kedigdayaan Majapahit, Samudra Pasai, dan Sriwijaya, mengabarkan kisah-kisah keberhasilan mereka menguasai Malaka, pusat perdagangan dunia kala itu. Bangsa ini telah mampu melakukan akulturasi secara positif, sehingga bisa mengintegrasikan kebudayaan China, India dan Islam untuk membangun budaya sendiri. Kegigihan memperjuangkan nasib juga ditorehkan oleh pejuang kemerdekaan, dan founding father, yang tidak rela hidup di bawah penindasan bangsa asing. Hidup terjajah dipandang hina, mencoreng muka, merendahkan martabat sebagai manusia.
Pada zaman Orde Baru, telah pula kita raih kesuksesan swasembada pangan, dan kemajuan industri. Militer kita disegani oleh negara lain, karena keahlian dan keberanian yang dimiliki oleh prajurit TNI. Kala itu, gelora nasionalisme terus dipupuk melalui peringatan hari-hari besar Nasional dan training-training civic education yang mengugah semangat berkorban demi negara.
Bandingkan dengan sekarang. Realita yang kita hadapi akhir-akhir ini, 10 tahun setelah reformasi bergulir, menunjukan tren kekalutan akan nasib masa depan. Kemiskinan, korupsi, kejahatan moral dan kriminal terus merajalela. Sementara kaum muda dininabobokkan dengan kesenangan temporer lewat alkohol, pergaulan bebas, dan hura-hura. Lulusan perguruan tinggi harus mengikis idealisme yang didapat sewaktu mahasiswa, karena desakan ekonomi yang menuntut mereka menjadi pragmatis.
Nasionalisme yang dilandasi falsafah bangsa; Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, cenderung tabu dikemukakan. Paranoid akibat slogan Pancasilaisme yang diusung kala Orde Baru, membuat anak bangsa tak acuh lagi dengan identitas bangsa yang digali oleh Soekarno, Muhammad Yamin, dan Soetomo. Sampai-sampai menghafal Pancasila dan UUD 1945-pun enggan dilakoni oleh para pelajar kita.
Rasa bangga sebagai orang Indonesia, tidak lagi kita peroleh dari tayangan film dokumenter perjuangan kemerdekaan dan buku-buku sejarah. Tidak juga melalui penataran Pancasila. Nasionalisme kita akhir-akhir lebih tersentak dalam momen-momen olahraga antar negara. Timnas sepakbola melawan tim negara lain, Thomas dan Uber Cup, Sea Games, Asian Games, serta Olimpiade.
Ketika itu, bendera merah putih dengan penuh semangat dikibarkan. Teriakan “Hidup Indonesia”, “Ayo Indonesia” dan ungkapan dukungan lainnya mengelora ketika atlet Indonesia bertanding di lapangan. Sayangnya, gelora ini tidak tertransformasi ke bidang-bidang lain.
Harus diakui penjajahan kontemporer dalam baju neokolonialisme semakin mencengkram leher kita. Bukan karena sang kolonialis lebih superior. Anak-anak bangsa ini tidaklah bodoh. Seringkali pelajar-pelajar kita meraih prestasi pada event-event lomba berbagai macam ilmu (olimpiade fisika, olimpiade matematika, olimpiade astronomi, olimpiade komputer dan lainnya) baik tingkat internasional maupun regional, menandakan masih banyak otak-otak jenius yang dimiliki bangsa ini. Banyak master, doktor, dan profesor lulusan universitas-universitas terkemuka dunia, yang kita miliki.
Penelusuran lebih jauh mengantarkan kita pada sebuah jawaban, kesalahan tidak terletak pada kecerdasan tapi keterpurukan yang kita hadapi saat ini, berpusat pada fenomena mental traumatik inlander yang telah tertanam ratusan tahun lamanya.
Indikasi paling mudah untuk menjelaskan analisis ini bisa kita dilihat dari kekaguman berlebihan terhadap orang bule atau orang yang memiliki wajah kebule-bulean. Sebut saja Cinta Laura, Cathy Catwright, VJ MTV Marissa, Ari Wibowo, dan sederetan artis Indo lainnya, menjadi justifikasi atas hipotesis ini.
Mungkin kesukaan kepada artis berwajah Indo dapat kita maklumi sebagai naluriah alami manusia yang memang cendrung kepada sesuatu menarik secara inderawi. Namun, apa jadinya jika hal ini menyerang ranah intelektual dan akademis? Kiblat ke Bule telah membawa arus pikir kita tidak lagi indenpenden. Para ahli dan akademisi seakan tidak pede menyampaikan sesuatu kalau tidak mengutip pendapat ahli atau ilmuan Bule Bermata Biru. Serasa kurang ilmiah ketika tidak mencantumkan argumen-argumen mereka dalam pemaparan dan tulisan yang kita buat. Tentunya, kekalahan mental di bidang ilmu pengetahun ini lebih serius implikasinya dibanding ekses di dunia entertaiment. Di bidang kebijakan publik, sindrom ini berakibat melemahnya kedaulatan Negara. Pemerintah yang diisi oleh agen-agen Imperialis Barat dalam topeng sebagai team ahli dan pejabat publik, melahirkan kebijakan kapitalistik yang berakibat tergusurnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Para pejuang bangsa ini telah memberikan tauladan, bahwa nasib bisa dirubah dan zamanpun bisa digubah. Berkaca pada kesuksesan Nenek Moyang kita, yang di masa dulu telah berhasil mewujudkan sebuah peradaban unik di tengah peradaban-peradaban lain di dunia, seharusnya bisa melecut semangat kita untuk mendayakan seluruh kemampuan dalam mengatasi masalah alam dan zaman yang kita hadapi saat ini. Karena persoalan mendasar adalah persoalan mental, maka tindakan mengobati kondisi psikologis akut ini perlu dinomor-satukan.
Pergaulan dan interaksi secara intens dengan Ras Kaukasoid (orang Barat) akan membuka mata kita akan sisi-sisi kelemahan mereka. Ternyata Bule tak sehebat yang kita bayangkan. Hal ini sedikit demi sedikit menghilangkan kekaguman berlebihan (histeria) dan rasa inferior. Jiwa dan pikiran yang bebas akan memunculkan ide-ide kreatif.
Tentu saja otonomi intelektual tidak cukup untuk membangkitkan bangsa ini dari keterpurukan. Bangsa Barat punya falsafah kebebasan, persamaan, dan humanitas ketika bangkit dari Dark Age yang mengukung mereka ratusan tahun. Demikian pula kebangkitan yang akan kita tuju. Perlu National Identity untuk mengawal perubahan sosial dan budaya. Kelemahan reformasi yang diusung sejak tahun 1998 sampai sekarang, ada pada titik ini, yakni tidak mantapnya landasan filosofis perubahan, sehingga jalan tampak gelap. Tanpa disadari reformasi telah berubah menjadi kebebasan penuh anarkhi.
Rel yang bisa kita gunakan sebagai panduan ketika meniti tahap-tahap menuju perbaikan itu adalah religiusitas sosial, humanitas egaliterian, nasionalisme di atas pluralisme, musyawarah demi demokrasi, dan keadilan untuk kesejahteraan. Akhirnya, semua terpulang kepada kita sebagai anak bangsa untuk mengambil peran masing-masing demi bangkitnya Negara yang kita cintai ini. Dan biarkanlah sejarah menilai apa yang telah kita lakukan.
0 komentar