Oleh: Anggun Gunawan, Mahasiswa Jurusan Filsafat Fakultas Filsafat UGM

Artikel ini telah diterbitkan oleh Koran Padang Ekspres Edisi Senin, 16 Juni 2008

Periodesasi pemikiran yang sedang kita jalani hari ini dinamakan era postmodern. Era ini ditandai dengan diakuinya eksistensi ilmu-ilmu sosial humaniora yang lama tenggelam di bawah ilmu kealaman akibat dominasi paham materialisme dan empirisme sains. Postmodern meletakkan simbol dan bahasa sebagai telaah utama. Dalam bidang agama terjadi sebuah kesadaran, bahwa manusia tidak bisa hidup hanya mengandalkan kepandaian dan pengetahuan saja. Harus ada wilayah metafisik (ilahiah) yang mesti diselami untuk memenuhi kebutuhan lain yang secara intrinsik melekat dalam jiwa manusia.

Fenomena keberagamaan kita hari ini dalam tinjauan postmodern memang telah dipengaruhi warna simbolistik. Di Sumatera Barat, setiap siswi dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, diwajibkan memakai jilbab. Sekarang banyak kita temui, pria dengan baju koko plus jenggot yang dipelihara. Dalam keseharianpun, kita semakin akrab dengan kosakata Arab dengan panggilan antum, ikhwan, akhwat, abi, ummi, bid’ah, sunnah, dzikir, muhasabah dan lain sebagainya. Booming film Ayat-Ayat Cinta mencitrakan kerinduan banyak orang pada hal-hal yang berbau religius.

Namun, betulkah kecendrungan positif ini menjadi indikasi bahwa religiusitas masyarakat kita telah mengalami perubahan signifikan? Penting bagi kita menelisik lebih jauh sampai dimanakah peran agama sebagai penjaga moral bangsa.

Orang-orang sholeh mengambil peran dalam memerangi moral yang buruk, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun pribadi, melawan kemewahan, berhalus budi, melawan segala hal yang menyuburkan keirihatian dan kebencian. Muhammad Natsir misalnya, mengatakan agama adalah falsafah hidup yang mesti diimplementasikan dalam setiap bidang kehidupan.

Seiring makin maraknya syiar Islam dewasa ini, di sisi lain kita temui juga realita yang bertolak-belakang. Tayangan televisi setiap hari menyajikan menu artis-artis yang membuka aurat. Berita kriminal menjadi laris karena memang banyak kejahatan yang terjadi, sehingga perlu dibuatkan tayangan khusus untuknya, dan tak salah jika sekarang telah bermetamorfosis menjadi infotaiment rutin menyaingi infotaiment gosip. Kasus korupsi berpacu dengan peningkatan jumlah orang miskin.

Kebuntuan agama membackup wilayah-wilayah sosial telah menjadi keprihatinan bagi banyak pihak. Timbulnya istilah Tauhid Sosial, Sosial Profetik dan Humanisme Islam, tak lepas dari kondisi belum lepasnya spiritualitas umat Islam dari kunkungan individualistik beragama. Individualistik Agama ditandai sikap sholeh secara privat, namun buta bermasyarakat.

Sikap Individual ini secara ilmiah dapat kita jelaskan melalui pandangan William James, seorang Pakar Psikologi Agama dari Universitas Harvard Amerika Serikat. James mengatakan, agama adalah segala tindakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apapun yang mereka anggap sebagai yang ilahiah. Menurut pengertian ini, agama tak lebih dari hubungan manusia dengan Tuhan, tak lebih dari itu.

Bukankah di dunia ini, kita hidup untuk memperjuangkan takdir kita masing-masing. Tiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda yang mesti ia hadapi dengan cara berbeda pula. Setiap orang, dari sudut pandang masing-masing, mendapatkan bagian tertentu dari fakta dan masalah, dan masing-masing dari kita harus menghadapinya dengan cara khas. Salah satu dari kita harus melunakkan diri, yang lain harus tetap di tempat, untuk mempertahankan posisi yang ditugaskan kepadanya dengan baik. Jadi kenyataan hidup telah memaksa kita lebih cendrung egoistik.

Penulis yakin, banyak yang akan menentang argumen ini dengan mengatakan, Islam tidak seperti itu. Islam mengajarkan seseorang harus menyelaraskan hubungan vertikal dengan Allah dengan hubungan horizontal sesama manusia. Bukankah sholat diakhiri dengan mengucapkan salam (keselamatan) kepada orang yang berada di samping kanan dan kiri kita. Begitu besar ancaman Allah bagi orang yang sholat tapi menyia-nyiakan anak yatim dan tidak mau membantu fakir miskin. Islam mewajibkan zakat kepada orang-orang yang mampu sebagai upaya pemerataan kesejahteraan.

Jika memang norma-norma Islam mengajarkan demikian, kenapa kita masih menemui paradoksal-paradoksal dalam kehidupan sehari-hari, terkait ketidakpedulian orang yang dianggap sholeh. Tentu jawaban, hal ini dikarenakan mereka itu belum menjalankan agama secara utuh, tidaklah memuaskan.

Menurut penulis, kondisi ini dilatarbelakangi oleh pemahaman “Psikologis Karma”. Tindakan baik kepada orang lain dipahami sebagai tindakan aktif untuk mendapat balasan baik untuk diri sendiri. Amal-amal yang tercakup dalam aspek sosial dimaknai sebagai keuntungan secara personal. Kebaikan yang dilakukan dijadikan sebagai identitas kebaikan diri. Ada rasa takut kalau Tuhan yang disembahnya selama ini, tidak mau menolong ketika dia berhadapan dengan masalah. Kebaikan sosial yang dilakukan, diyakini sebagai sesuatu yang mampu melahirkan rasa nyaman atas naluriah kewajiban Homo Religius.

Dunia yang di dalamnya kita berjibaku hingga kematian menjelang, bukanlah sebuah pantonim yang diam dalam kesunyian kekhusyukan pribadi. Agama telah menjadikan manusia untuk serius memikirkan orang di sekitarnya. Tidak sekedar ucapan takbir ketika demonstrasi di jalan-jalan, dan dzikir pengkhitmatan di tengah malam. Tapi yang dituntut adalah Agama Pragmatis. Agama yang mampu membawa perubahan secara kolektif. Dimana kesuksesan keberagamaan terletak pada nilai kemanfaatan sosial yang dibawanya.

Melalui pikiran yang kritis, marilah kita kembali memaknai agama yang saat ini kita peluk dan yakini. Sehingga kita bisa membawa hidup yang bernada religius individual menuju hidup bernafaskan antusiasme kemanusiaan. Kitalah yang berperan membentuk sikap orang lain. Kebejatan mereka, hakikatnya adalah kebejatan kita juga, karena kita yang acuh tak acuh telah menjadi iri hati mereka. Dan tak salah jika kemudian mereka datang kepada kita dengan segala beban mereka. Tuhan hanya datang kepada orang, yang juga mencintai umatNya. (***)