Oleh : Anggun Gunawan, Mahasiswa Jurusan Filsafat Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Tinggal di Asrama Merapi Singgalang

“Tulisan Ini telah dimuat di Koran Padang Ekspress edisi Sabtu, 7 Juni 2008″

Demokrasi memberikan ruang bebas bagi setiap orang dalam sebuah negara untuk menyampaikan pendapat dan aspirasinya melalui jalur-jalur tertentu. Dalam term lain, demokrasi adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Begitu pula dalam hal penyampaian aspirasi politik, setiap rakyat berhak menentukan sikap politis dalam memilih sosok pemimpin.

Semenjak tahun 2004 terjadi perubahan yang signifikan dalam perpolitikan di negara kita, yaitu sistem pemilihan pemimpin secara langsung. Baik itu pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Legislatif, Gubenur, Bupati dan Walikota maupun pemilihan Lurah/Kepala Desa. Fenomena ini membangkitkan gairah rakyat secara aktif memilih pemimpin sesuai dengan keinginannya. Sehingga diharapkan kondisi yan kondusif akan tercipta dan kesejahteraan rakyat akan diraih. Namun apakah harapan ini berhasil diwujudkan?

Tahun ini ada 13 provinsi yang telah dan akan mengadakan pilkada (200 8) antara lain Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Selain itu terdapat 95 pilkada kabupaten dan 29 pilkada kota.

Sistem Pilkada langsung memang sebuah format politik baru. Pada zaman Orde Baru Gubenur, Bupati dan Walikota ditetapkan oleh Presiden setelah menerima usulan dari DPRD. Sehingga ibarat orang yang baru belajar membawa mobil, maka tak heran terjadi tabrakan di sana-sini.

Pilkada yang selama ini dilakukan menyisakan banyak problem yang berpotensi besar terulang lagi. Banyak aksi demo memprotes hasil Pilkada ini merupakan salah satu cermin kinerja KPUD kurang bagus. Kemudian aksi protes oleh pendukung yang kalah dalam Pilkada telah menjurus pada tindakan anarkis. Belum lagi masih gencarnya money politik membuat Pilkada langsung menjadi masalah baru demokrasi di Indonesia.

Selain itu, penyelenggaraan Pilkada langsung telah memakan biaya yang tidak sedikit. Untuk pemilihan daerah kota / kabupaten saja bisa menghabiskan 1-10 Miliar Rupiah. Apalagi untuk pemilihan Gubenur, yang bisa mencapai puluhan miliar. Itu baru dana yang dihabiskan oleh KPUD selama penyelenggarakan pilkada. Kumulasi biaya pilkada semakin mengelembung jika kita tambahkan dengan dana kampanye yang dikeluarkan oleh masing-masing calon kandidat. Melihat fenomena ini, agaknya tepat istilah yang disampaikan Prof. Jacob, demokrasi yang kita jalankan saat ini adalah demokrasi kapitalistik dengan pemilihan umum berkala dan kampanye mahal serta persuaraan pluralitas.

Alih-alih menjadi solusi bagi masyarakat, pilkada semakin membuat rakyat semakin terpuruk. Rakyat yang dipecah dalam kelompok-kelompok pendukung calon tertentu. Tiada lagi toleransi. Masing-masing kandidat dan pendukungnya merasa dirinya yang layak untuk menjadi pemimpin. Ketika kekalahan yang menerpa, serta merta gejolak kekanak-kanakan yang muncul. Tidak menerima kekalahan dengan mencari berbagai macam alasan kecurangan yang dilakukan pihak pemenang.

Problem ini telah menyentakan kita tentang arti sebuah demokrasi. Apakah demokrasi hanya untuk tujuan politis saja, atau ada aspek yang lebih jauh hendak dicapai. Menurut Joseph A. Schumpeter, sebuah sistem politik disebut demokrasi sejauh para pengambil keputusan kolektifnya yang paling kuat dipilih melalui pemilu periodik, dimana para calon bebas bersaing untuk merebut suara dan di mana semua orang dewasa berhak memilih. Menurut definisi ini demokrasi mencakup persaingan dan partisipasi. Dalam konteks Indonesia Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan yang menjadi landasan pelaksanaan demokrasi di Indonesia memiliki korelasi positif dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Efek negatif pilkada membuat kita bertanya tentang kesiapan bangsa ini menerapkan sistem yang dahulu pernah dilakukan masyarakat Yunani Kuno. Demokrasi bukanlah sesuatu yang ideal dan puncak peradaban manusia. Ia tepat untuk masyarakat yang terinformasi dengan baik, karena rakyat turut mengambil keputusan-keputusan dasar dan pemerintah terbatas masanya serta suksesi dapat berlangsung dengan aman. Tetapi demokrasi kapitalistik menelan banyak dana, dan suara dapat dibeli, sehingga negara-negara maju dengan birokrasi baik, rakyat tidak bergairah untuk memberikan suara.

Mereka menganggap tanpa politikus pun masyarakat dapat berjalan normal, dan calon-calon hanya berbeda dan hebat selama kampanye, tetapi tidak sesudah terpilih. Pilkada yang selama ini berlangsung sering dipandang sebagai pertandingan kalah dan menang. Kekalahan tidak dapat diterima dengan ksatria. Maka bermainlah kekerasan yang didominasi lelaki.

Pengakuan kalah atau salah dianggap bukan sifat jantan. Alhasil demokrasi modern tidak jalan karena belum berakar dalam masyarakat. Untuk mencapai suasana yang demokratis pada sebuah negara, ada beberapa prasyarat demokratisasi. Salah satu prasyarat itu menurut Samuel Huntington adalah faktor ekonomi, yakni kemakmuran ekonomi dan persamaan.

Ada baiknya kita teropong kondisi masyarakat kita dengan pisau analisis yang telah diberikan Huntington. Data BKKBN mengungkapkan, Jumlah penduduk miskin tahun 2007 tercatat 37,2 juta jiwa atau sekitar 16,58 persen dari total penduduk. Apalagi setelah kenaikan BBM, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun ini akan bertambah 4,5 juta jiwa akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Total orang miskin diperkirakan akan mencapai 41,7 juta jiwa. Sedangkan menurut data Bank Dunia, dengan kriteria penghasilan US$ 2 per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 124 juta orang atau separuh lebih (56,4 persen) dari jumlah penduduk Indonesia (220 juta).

Beranjak dari tesis “Suatu ekonomi yang makmur juga mengurangi ketegangan konflik politik”, maka tidak salah, ketegangan saat Pilkada begitu marak. Rakyat miskin sering kali dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk pemenangan pilkada. Dengan insentif puluhan ribu saja, masyarakat miskin yang biasanya berpendidikan rendah, mau menyerahkan hak suaranya. Maka, praktek money politic tumbuh subur dalam kondisi seperti ini.

Ketika seorang kandidat kalah, sementara dia telah mengeluarkan ratusan juta bahkan miliaran rupiah maka seolah-olah kenyataan ini menjadi neraka baginya. Harapan modal akan kembali pasca kemenangan, serta merta buyar ketika pengumunan hasil pilkada diumumkan. Sementara alternatif menangguk sumber daya ekonomi lainnya sangat sulit.

Akhirnya dengan penuh emosional, sang kandidat tidak menerima kekalahan dengan mencoba mencari bukti-bukti untuk menganulir kemenangan pihak lain. Tidak itu saja, uang kembali dikeluarkan untuk memobilisasi massa dan juga preman untuk mengintimidasi KPUD, dengan sejuta harapan tindakan anarkis ini akan membuat takut dan bisa merubah hasil keputusan pilkada.

Ketika pencapaian ekonomi makmur semakin jauh kita harapkan, tentu saja keberlangsungan demokrasi di negara ini akan tetap dalam kondisi pincang karena tak memenuhi kriteria yang diharapkan. Ketika budaya feodalisme masih tertanam dalam jiwa-jiwa masyarakat kita, maka egaliterian dan kesetaraan yang menjadi modal dasar demokrasi, semakin tenggelam.

Semoga pada pilkada selanjutnya kita tidak menemui lagi tindakan kanak-kanak dari para elite politik kita yang merengek-rengek atas kekalahan pada pesta demokrasi. Dan semoga mereka tidak gelap mata, memanfaatkan rakyat untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Amiin. (***)