Tulisan ini telah diterbitkan oleh Padang Ekspres edisi Jum’at 27 Juni 2008

Belakangan ini kita disuguhkan dengan tayangan parodi politik yang dikemas secara apik dan menarik. Sebut saja News Dot Com, Republik Mimpi, dan yang terakhir Kabaret Istana. Dengan menampilkan pemeran saduran yang mirip dengan tokoh-tokoh politik nasional terkemuka, komedi ini telah mendapatkan justifikasi ilmiah dengan kehadiran mahasiswa dan para akademisi. Sang kreator acarapun tak kalah beken dengan latar belakang studi ilmu komunikasi lulusan luar negeri.

Tokoh sentral dalam program ini adalah pelawak yang berperan sebagai presiden, wakil presiden, menteri, atau staff pemerintah. Tema yang diangkat merupakan masalah politik dan sosial yang aktual. Dengan kocaknya, aktor-aktor utama mengkritisi kebijakan yang dinilai tidak memenuhi harapanr rakyat. Sementara mahasiswa yang menjadi audience, tak lebih dari sekedar peramai suasana dengan tepukan tangan, cemoohan, dan ketawa-ketiwi.

Tayangan ini sebenarnya bertujuan memberikan kritik kepada pemerintah melalui sindiran-sindiran lucu. Harapannya, dengan cemoohan yang dirangkai secara ekslusif ini, pemerintah bisa menyadari keteledorannya dalam mengambil kebijakan. Di sisi lain, sebagai bagian dari program media, komedi pengocok perut ini mencoba memberikan hiburan alternatif bagi masyarakat yang telah muak dengan perilaku tak pantas dari pejabat eksekutif dan legislatif.

Berbeda dengan perspektif yang dibangun oleh produser, penulis melihat tayangan-tayangan seperti ini tidak terlalu signifikan manfaatannya. Tontonan ini tak lebih sekedar bius penghilang sakit (bersifat sementara) atas penderitaan yang menimpa masyarakat. Persoalan bangsa yang rumit dan berat disikapi dengan guyonan mengindikasikan kesan meremehkan dan mengolok-olok keadaan. Masyarakat dibuat apatis dengan persoalan-persoalan yang sesungguhnya melibatkan mereka.

Sangat ironis jika persoalan bangsa dijadikan olok-olokan dan bahan tertawaan. Kalaupun pemerintah melakukan kesalahan, apakah kritik semacam ini cukup solutif? Pantaskah kita meletakan semua kesalahan pada pemerintah? Negara ini milik kita bersama. Kalau sudah main saya yang benar dan yang lain salah, bagaimana semangat untuk bersatu bisa muncul? Padahal dari dulu yang menjadi spirit bangsa ini bangkit adalah rasa kebersamaan. Atau memang argumen bahwa paradigma kita telah berubah menjadi egostik demi keselamatan dan kesejahteraan pribadi, benar adanya?

Thomas Hobbes, pemikir politik yang terkenal dengan tesis Homo Homini Lupus (”Man is a wolf to man) mengatakan, “Memerintah dengan baik adalah sebuah kewajiban hukum alam. Namun rasa sayang dan nafsu berkuasa membuat raja (pemerintah) bisa tergoda untuk menggunakan kekuasaan tersebut secara tidak benar.” Berkaca pada kenyataan yang terjadi pada bangsa kita, pejabat publik baik nasional dan daerah saat ini bekerja di bawah banyak tekanan. Ada pressing ekonomi, kepentingan asing, buruknya mental pegawai, warisan masalah masa lalu dan lain sebagainya, yang membuat mereka tidak bisa bekerja dengan maksimal.

Sering pula kita menemui kasus, dimana sosok pemimpin sudah baik. Namun program kerja tidak berjalan karena bawahannya tidak mampu menerjemahkan i’tikad baik dari sang pemimpin. Malahan ada bawahan yang menikam dari atasan, baik berupa penyembunyian informasi ataupun penyampaian laporan-laporan manipulatif.

Agaknya terlalu naif jika kita terus memojokan pemerintah. Tugas-tugas publik yang diemban merupakan amanah yang sangat berat. Permasalahan tidak bisa diselesaikan dengan omong doang. Hal ini telah kita buktikan dengan fenomena tak berkutiknya figur-figur eksekutif yang berlatar belakang sebagai politis atau pengamat dulunya.

Saat tanggung jawab tak berada dipundak, dengan leluasa ia mengatakan pemerintah tidak becus, tidak peduli terhadap rakyat.. Ketika tiba giliran mereka memangku jabatan pemerintahan, seperti Presiden, Menteri, Gubenur atau jabatan eksekutif lainnya, kegarangan yang dulu mereka perlihatkan seakan memudar dengan peralihan posisi ini. Agaknya mereka baru tahu kalau ngomong itu memang mudah daripada bekerja.

Televisi memiliki peran sentral dalam membangun opini yang berujung pada pembentukan karakter dan pola pikir masyarakat. Jika tontonan yang disajikan berindikasi pada penguatan sikap apatis masyarakat akan krisis yang dihadapi, tentu ini akan berimplikasi pada lemahnya semangat untuk keluar dari keterpurukan.

Negara demokrasi memang memberikan ruang yang luas bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi. Namun, agaknya perkataan Hobbes layak kita renungi, “Jalan menuju kehormatan bukanlah dengan menghujat pemerintahan yang ada, tidak juga melalui faksi-faksi dan pertikaian rakyat. Tapi lebih kepada bagaimana tanggung jawab negara dipikul bersama-sama.”

Menurut penulis yang dibutuhkan oleh bangsa ini, bukanlah hujatan, cemoohan, dan anarkisme baik fisik maupun intelektual. Karena semua itu adalah bentuk teguran yang tidak bermanfaat. Untuk membangkitkan optimisme dan kebersamaan perlu nasehat yang baik lagi mudah dimengerti. Kita sudah kenyang dengan komentar-komentar dan demonstrasi. Saatnya kita beraksi dengan tindakan nyata.

Akademisi sebagai pilar intelektual yang diharapkan membawa kesadaran dan penerangan kepada masyarakat awam, sudah saatnya berhenti menjadi periuh-pengembira acara-acara parodi politik seperti ini. Intelek dan bermoralkah perbuatan menertawakan aib dan kesalahan bangsa sendiri?

Cukuplah tayangan komedi seperti Extravaganza dan sejenisnya yang menjadi hiburan kala jenuh menghinggapi pikiran kita. Sedangkan persoalan bangsa mesti disikapi dengan cermat dan dipecahkan dengan kerja keras. Kita harus cerdas memilah mana yang perlu diguyoni dan mana yang mesti diseriusi.