Saya tidak pernah merasa terkesan dengan mahasiswa yang berdemo, dan teriak-teriak di jalan. Saya pun tidak pernah simpatik dengan mahasiswa yang dengan anarkis membakar serta mendorong aparat yang menghalangi aksi mereka. Terus ketika luka-luka, mereka menamakan itu sebagai hal yang heroik.
Terkait dengan Peringatan satu dekade Reformasi Indonesia (12 Mei 1998 - 12 Mei 2008), saya merasakan suasana hambar. Apa yang mau diperingati ? Apakah hanya sekedar mengenang kematian mahasiswa yang dikenal sebagai pahlawan Reformasi ?
Menarik sekali apa yang disampaikan oleh Asro Kamal Rokan dalam Resonansinya di Republika hari ini Rabu 14 Mei 2008, dengan judul “Steve Hanke, 1998”. Pimpinan Kantor Berita Antara ini memaparkan tentang “konspirasi yang terjadi saat detik-detik kejatuhan Pak Harto”. Reformasi tak lebih dari perbantuan mahasiswa terhadap skenario Amerika Serikat dan sekutunya yang menginginkan agar Pak Harto meninggalkan jabatan.
Padahal kalau kita baca dalam berbagai literature pada masa 1990-an, Pak Harto sudah mulai menyadari kesalahannya. Beliau berangsur dekat dengan komponen Islam. Beliau mulai insyaf, dan melakukan berbagai perbaikan atas kesalahan yang dilakukan selama ini. Ketika Pak Harto mulai berubah, sang pendukung utama beliau (AS) merasakan gelisah atas perubahan sikap Pak Harto. Sehingga jika dibiarkan akan berdampak negatif bagi kepentingan AS di Indonesia.
Sekarang 10 tahun sudah kita mengarungi era reformasi. Namun apa yang terjadi ? Keadaan tidak lebih baik. Yang terjadi hanyalah naiknya orang-orang yang tak berkutik pada zaman Soeharto untuk kemudian menjadi penguasa-penguasa baru yang mengulangi kembali kesalahan Pak Harto.
Saya merasa, mahasiswa sering dijadikan lokomotif oleh pihak-pihak tertentu tanpa menyadari skenario besar yang dirancang oleh “Sutradara Besar” tersebut. Mahasiswa dibiarkan sibuk dengan kegiatan-kegiatan non akademis sehingga terus menjadi mahasiswa rendahan dibandingkan dengan mahasiswa di Negara maju.
Universitas terbaik Indonesia hanya mampu menempati posisi 700-an dalam peringkat Universitas se-dunia. Seringkali para aktivis mahasiswa mencemooh koleganya yang serius belajar dan tak sempat ikut organisasi politik’-sosial kemahasiswaan, dengan ocehan “kutu buku dungu”, “calon-calon antek kapitalis” dan tuduhan miring lainnya.
Artinya, ketika seseorang serius belajar diimagekan dengan citra negatif. Yang terjadi adalah pembodohan yang berkepanjangan. Bagaimana kita bisa setara dengan Negara maju, jika mahasiswa-mahasiswa kita kalah cerdas, kalah ulet, kalah rajin dari mahasiswa-mahasiswa Negara maju. Bukankah kemajuan suatu Negara tergantung kepada SDM yang dimilikinya ??
Entahlah. Setelah 10 tahun entah kemana Negara ini mau dibawa oleh Reformasi… Wahai para “Founding Father Reformasi” bertanggung-jawablah…
0 komentar