Beberapa hari ini, pendengaranku diisi oleh kata-kata nikah. Semenjak dari hari Ahad kemarin, saat kajian Ahad Pagi di Masjid Kampus UGM sampai tadi pagi saat kuliah logika bersama pak Arry Soekowaty. Nikah, memang kata-kata yang akrab di telinga kita dan bisa membuat bergetar setiap orang yang masih lajang.
Beberapa minggu yang lalu, diskusi di milis RantauNet, juga sempat heboh dengan tulisanku “Gadis Minang Versus Gadis Jawa”. Ada yang bilang aku kepincut dengan gadis Jawa sehingga penilaianku terhadap gadis Minang cendrung negatif. Ada juga yang mencoba melandaskan kepada agama, bahwa manusia diciptakan bersuku, berbangsa-bangsa dan ta’arafu dalam ayat tersebut juga termasuk dalam masalah pernikahan.
Tapi, aku pribadi sudah tak terlalu terkesan lagi dengan kata nikah. Karena aku tak ingin melakukannya sekarang dan masih banyak yang mesti kuraih sebelum menikah. Aku ingin kerja dulu, ingin S2 dulu. Apalagi hatiku sudah hancur. Gadis yang membuat aku terkesan, tak mempunyai hati padaku. Ya, aku agak apatis juga dengan cinta dan pernikahan.
Okey, saya tak ingin memperpanjang curhatan hati, sekarang kita masuk pada judul yang sudah penulis ketikan di awal tulisan ini.
Pernikahan lintas budaya memiliki sisi positif dalam hal keturunan yang dilahirkan. Dari studi kesehatan, ketika gen-gen yang berbeda dipertemukan, maka akan terjadi sintesis mutualisme dalam pembentukan generasi unggul yang lebih kuat secara gen. Bentuk dari keunggulan tersebut adalah lahirnya agak yang memiliki intelegence yang lebih baik dan secara fisik memiliki ketahanan tubuh dari penyakit-penyakit lebih kuat serta memiliki fisik yang lebih bagus.
Ketakutan yang penulis rasakan ketika menyampaikan pernikahan lintas budaya kepada beberapa orang adalah ketakutan kehilangan identitas keturunan. Pertemuan dua orang yang berbeda latar belakang budaya memang akan menimbulkan persoalan pada sisi nilai budaya manakah yang akan diinternalisasikan kepada anak. Ketika ada salah satu pihak yang mendominasi dalam pewarnaan anak, maka yang terjadi adalah ketidakharmonisan. Oleh karena itu, biasanya sang orang tua yang melakukan pernikahan beda suku/bangsa cendrung mendidik anak-anaknya dengan nilai-nilai kemanusiaan universal sehingga sang anak tidak memiliki keterikatan yang jelas pada suku orang tuanya. Dalam kata lain dosen logika saya mengatakan, “pernikahan beda suku/bangsa cendrung melahirkan keturunan berkarakter lemah”. Dalam artian, karakter yang dimaksud di sini dapat berupa rasa nasionalisme ataupun etnisitas.
Bagi pembaca saya tidak sedang menganjurkan untuk menikah beda suku/bangsa atau menikah sesama suku/bangsa. Karena saya menyakini bahwa pernikahan lebih elegan jika dilandasi oleh cinta kasih. Cinta yang dianugerahkan Tuhan ke dalam hati kita, kemudian kita bingkah dalam jalinan suci. Dan rasa cinta itu tak memandang suku/bangsa, kedudukan dan harta. Akhirnya terserah anda mau menikah dengan siapa…
0 komentar