Perdebatan tentang Ahmadiyah sampai hari ini masih menyisakan kontroversi. Ada Adnan Buyung Nasution (Penasehat Presiden), Komnas HAM dan beberapa aktivis pejuang HAM lainnya yang berjibaku melalui berbagai media untuk memberikan kebebasan kepada jam’at Ahmadiyah untuk terus melakukan praktek-praktek keagamaannya.
Terserah siapa itu Adnan Buyung Nasution ataupun para aktivis pejuang HAM, namun sebagai akademisi yang kritis kita mesti memiliki suatu pandangan yang objektif merujuk pada sejarah. Telah sama-sama diketahui bahwa Ahmadiyah erat kaitannya dengan colonial Inggris. Namun ada fakta sejarah lainnya yang sampai sekarang ditutupi oleh orang-orang Ahmadiyah.
Dikarenakan sepakterjang Mirza Ghulam Ahmad semakin membuat resah masyarakat, maka salah seorang ulama di Hindustan melakukan debat terbuka dengan Mirza Ghulam Ahmad. Salah satu perdebatan yang memalukan Mirza ketika membicaraan justifikasi kenabian Mirza. Sang Syaikh (Syaikh Sana’ullah) membantah pengakuan Mirza sebagai nabi dengan mengutip hadist dari Aisyah yang menyatakan bahwa Tidak ada Rasul setelah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dengan lantangnya Mirza menjawab, bahwa hadist yang diriwayatkan perempuan tidak bisa diterima dan dijadikan dasar dalam agama. Bukannya mencoba menunjukkan kesahihan matan dan sanad hadist tersebut, namun dengan cerdas Syaikh menohok Mirza dengan mengatakan “Saya tidak percaya kepada anda, karena anda dilahirkan oleh seorang perempuan, jadi kesahihan diri anda juga perlu dipertanyakan”. Disaksikan oleh ribuan pengikut Ahmadiyah dan umat Islam pada waktu itu, malu Mirza tidak dapat ditahan lagi.
Bergeser sedikit kepada pembela Ahmadiyah dari kalangan pejuang Feminisme, seharusnya mereka membenci Mirza Ghulam Ahmad karena dia sangat anti terhadap perempuan. Selain itu, dengan menggunakan otoritas palsu kenabiannya, dia membuat sebuah surat agar dia bisa memperistri saudara sepupunya (taktik ini dijalankan Mirza karena gadis tersebut dan keluarganya menolak pinangan Mirza).
Beberapa hari kemudian tepatnya tanggal 15 Mei 1908, Mirza menantang Syaikh Sana’ullah untuk bermubahalah (janji akan dilaknat oleh Allah) dengan redaksi perjanjian “Barang siapa yang di antara kita berdua telah berdusta, dan sesat, maka Allah akan memberikan laknat kepadanya dan dicabut nyawanya oleh Allah”. Mubahalahpun disaksikan oleh banyak orang.
Sekitar 3 atau 5 hari setelah ikrar mubahalah tersebut, dikabarkan Mirza Ghulam Ahmad meninggal dunia. Sedangkan Syaikh Sana’ullah masih bisa mengajar dan diberi keluasan umur oleh Allah, dimana beliau baru meninggal setelah 40 tahun kemudian.
Sampai tahun 1989, di Hindustan masih bisa kita temui saksi mata atas peristiwa yang coba ditutupi-tutupi oleh pengikut Ahmadiyah ini. Sesungguhnya kebenaran itu akan menang juga akhirnya. Jika kita telusuri pendapat para Ulama caliber dunia saat ini, tidak kita temukan dari mereka yang “Tidak menyesatkan Ahmadiyah”.
Alih-alih untuk mencoba menyadarkan kesesatan pikir para jama’at Ahmadiyah yang jumlahnya lebih dari 2 juta di Indonesia, orang-orang yang katanya pembela HAM, mencoba untuk membiarkan mereka dalam kebodohan historis. Seharusnya tidak pantas dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya pembela kehormatan manusia. Tapi begitulah dunia yang ditakdirkan sebagai tempat “Pertempuran antara Haq dan Batil”.
Tulisan ini bersumber pada kajian Ahad Pagi Masjid Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 11 Mei 2008 dengan pemateri Ust. Ridwan Hamidi, Lc. M.Ag. (Alumnus Universitas Islam Madinah KSA, Pasca Sarjana Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta).
0 komentar